IJARAH
DAN IJARAH MUNTAHIA BITTAMLIK
MAKALAH
Disusun oleh:
1. Putri rahma
2. Eksi Octaviani
3. Tri Widodo
Dosen pembimbing
Khairiah Elwardah
PERBANKAN
SYARIAH
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BENGKULU
2016
Kata
Pengantar
Assalamualaikum
Wr. Wb.
Dengan
mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan YME, karena atas berkat rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan Tugas Kelompok untuk memenuhi mata kuliah fiqh mu’amalah II
Dalam
penulisan makalah ini penulis membahas tentang “Ijarah Dan Ijarah
Muntahiya Bittamlik” sesuai dengan tujuan instruksional khusus mata kuliah fiqh
mu’amalah, Program Studi Perbankan Syariah , Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Islam. IAIN Bengkulu
Dengan
menyelesaikan makalah
ini, tidak jarang penulis menemui kesulitan. Namun penulis sudah berusaha
sebaik mungkin untuk menyelesaikannya, oleh karena itu penulis mengharapkan
kritik dan saran dari semua pihak yang membaca yang sifatnya membangun untuk
dijadikan bahan masukan guna penulisan yang akan datang sehingga menjadi lebih
baik lagi. Semoga makalah
ini bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Wassalamu’alaikum
Wr. Wb
bengkulu, 2014
` Penulis
DAFTAR
ISI
Kata Pengantar.................................................................................................. i
Daftar isi.............................................................................................................. ii
A.
BAB
I PENDAHULUAN
a) Latar
Belakang................................................................................... 1
b) Rumusan
Masalah.............................................................................. 2
B.
BAB
II PEMBAHASAN
a) Pengertian Ijarah Dan Ijarah Muntahia Bittamlik.............................. 5
b) Landasan
Syariah............................................................................... 6
c) Rukun
Dan Syarat Ijarah ................................................................... 8
d) Ketentuan
Objek Ijarah...................................................................... 8
e) Bentuk Ijarah Muntahia Bittamlik..................................................... 9
f) Perbedaan Antara Ijarah Dan Ijarah Muntahia Bittamlik.................. 9
g) Kewajiban
Pemberi Dan Penerimamanfaat Barang
Atau Jasa........... 12
h)
Syarat Ujrah (Fee, Bayaran Sewa)..................................................... 13
i)
Pembatalan
Dan Berakhirnya Ijarah................................................... 13
j)
Pengembalian Sewaan........................................................................ 14
C.
BAB
III PENUTUP
a) Kesimpulan......................................................................................... 15
b) Saran................................................................................................... 15
Daftar Pustaka................................................................................................... 16
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Muamalah merupakan bagian dari rukun islam yang
mengatur hubungan antara seseorang dan orang lain. Contoh hukum islam yang
termasuk muamalah salah satunya adalah ijarah (sewa-menyewa dan upah).Seiring
dengan perkembangan zaman, transaksi muamalah tidak terdapat miniatur dari
ulama klasik, transaksi tersebut merupakan terobosan baru dalam dunia
modern.Dalam hal ini kita harus cermat, apakah transaksi modern ini memiliki
pertentangan tidak dengan kaidah fiqih? Jika tidak, maka transaksi dapat
dikatakan mubah.Sebelum dijelaskan mengenai ijarah, terlebih dahulu akan
dikemukakan mengenai makna operasional ijarah itu sendiri. Idris Ahmad dalam
bukunya yang berjudul Fiqh Syafi’I, berpendapat bahwa ijarah
berarti upah-mengupah, hal ini terlihat ketika beliau menerangkan rukun dan
syarat upah-mengupah, mu’jir danmusta’jir, sedangkan
Kamaluddin A. Marzuki sebagai penerjemah Fiqh Sunnah karya
Sayyid Sabiq menjelaskan makna ijarah dengan sewa-menyewa.
Dari dua buku tersebut ada perbedaan terjemahan kata
ijarah dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia, antara sewa dan upah juga
ada perbedaan makna operasional, sewa biasanya digunakan untuk benda, sedangkan
upah digunkan untuk tenaga. Namun dalam bahasa Arab ijarah adalah sewa dan
upah. Sehingga ketika kita melihat bagaimana aplikasi dari ijarah itu sendiri
dilapangan, maka kita bisa mendapati sebagai mana yang akan dibasas dalam
makalah ini. Yangmana diharapkan dengan hadirnya makalah ini dapat memberikan
masukan ilmu pengetahuan kepad kaum muslimin mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan sewa-menyewa. Ijarah merupakan menjual manfaat yang dilakukan oleh
seseorang dengan orang lain dengan menggunakan ketentuan syari’at islam.
Kegiatan ijarah ini tidak dapat dilepaskan dari kehidupan kita sehari-hari baik
dilingkungan keluarga maupun masyarakat sekitar kita. Oleh sebab itu kita harus
mengetahui apa pengertian dari ijarah yang sebenarnya, rukun dan syarat ijarah,
dasar hukum ijarah, manfaat ijarah dan lain sebagainya mengenai ijarah. Karena
begitu pentingnya masalah tersebut maka permasalahan ini akan dijelaskan dalam
pembahasan makalah ini.
B. Rumusan masalah
1. Apa
yang dimaksud ijarah dan ijarah Muntahia
Bittamlik ?
2. Apa
landasan syariah tentang ijarah?
3. Apa
saja rukun dan syarat serta ketentuan objek ijarah?
4. Apa
saja bentuk ijarah muntahia bittamlik?
5. Apa
perbedaaan ijarah dan ijarah muntahia bittamlik?
6. Kapan
ijarah bisa berakhir atau di batalkan?
BAB II
PEMBAHASAN
IJARAH DAN IJARAH MUNTAHIA BITTAMLIK
A. Pengertian
Ijarah
Kata Al-ijarah sendiri berasal dari kata Al
ajru yang diartikan sebagai Al 'Iwadhu yang mempunyai arti
”ganti”, al-kira`, yang mempunyai arti ”bersamaan” dan al-ujrah yang memiliki arti ”upah”
Al Ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat suatu
barang dengan jalan penggantian. Beberapa contoh kontrak ijarah (pemilikan
manfaat) seperti (a) Manfaat yang berasal dari aset seperti rumah untuk
ditempati, atau mobil untuk dikendarai, (b) Manfaat yang berasal karya seperti
hasil karya seorang insinyur bangunan, tukang tenun, tukang pewarna, penjahit,
dll (c) Manfaat yang berasal dari skill/keahlian individu seperti pekerja
kantor, pembantu rumah tangga, dll. Sementara itu, menyewakan pohon untuk dimanfaatkan
buahnya, menyewakan makanan untuk dimakan, dll bukan termasuk kategori ijarah
karena barang-barang tersebut tidak dapat dimanfaatkan kecuali barang-barang
tersebut akan habis dikonsumsi.
Adapun landasan hukum ijarah dari Al-Qur’an dapat ditemukan
antara lain pada Surah Az-Zuhruf ayat 32, Surah Al-Baqarah ayat 233, dan Surah
Al-Qashash ayat 26 dan 27. Sedangkan landasan hukum yang berasal dari Hadits
Nabi SAW antara lain Hadits Al-Bukhari yang meriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah
menyewa seseorang dari Bani Ad-Diil bernama Abdullah bin Al Uraiqith sebagai
petunjuk jalan yang professional.
Menurut Sayyid
Sabiq, Ijarah adalah suatu jenis akad
yang mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Dengan demikian pada
hakikatnya ijarah adalah penjualan
manfaat yaitu pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dan jasa dalam
waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan barang itu sendiri. Akad ijarah
tidak ada perubahan kepemilikan tetapi hanya perpindahan hak guna saja dari
yang menyewakan kepada penyewa.[1]
Pengertian al-ijarah menurut istilah syariat Islam
terdapat beberapa pendapat Imam Mazhab Fiqh Islam sebagai berikut:
1.
Para
ulama dari golongan Hanafiyah
berpendapat, bahwa al-ijarah adalah suatu transaksi yang memberi faedah
pemilikan suatu manfaat yang dapat diketahui kadarnya untuk suatu maksud
tertentu dari barang yang disewakan dengan adanya imbalan.
2.
Ulama
Mazhab Malikiyah mengatakan, selain al-ijarah
dalam masalah ini ada yang diistilahkan dengan kata al-kira`, yang
mempunyai arti bersamaan, akan tetapi untuk istilah al-ijarah mereka
berpendapat adalah suatu `aqad atau perjanjian terhadap manfaat dari al-Adamy
(manusia) dan benda-benda bergerak lainnya, selain kapal laut dan binatang,
sedangkan untuk al-kira` menurut istilah mereka, digunakan untuk `aqad
sewa-menyewa pada benda-benda tetap, namun demikian dalam hal tertentu,
penggunaan istilah tersebut kadang-kadang juga digunakan.
3.
Ulama
Syafi`iyah berpendapat, al-ijarah
adalah suatu aqad atas suatu manfaat yang dibolehkan oleh Syara` dan
merupakan tujuan dari transaksi tersebut, dapat diberikan dan dibolehkan
menurut Syara` disertai sejumlah imbalan yang diketahui.
4.
Hanabilah berpendapat,
al-ijarah adalah `aqad atas suatu manfaat yang dibolehkan menurut Syara`
dan diketahui besarnya manfaat tersebut yang diambilkan sedikit demi sedikit
dalam waktu tertentu dengan adanya `iwadah.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapatlah
dikatakan bahwa dalam hal `aqad ijarah dimaksud terdapat tiga unsur
pokok, yaitu pertama, unsur pihak-pihak yang membuat transaksi, yaitu majikan
dan pekerja. Kedua, unsur perjanjian yaitu ijab dan qabul, dan
yang ketiga, unsur materi yang diperjanjikan, berupa kerja dan ujrah
atau upah.[2]
B. Ijarah
Muntahia Bittamlik (Financial Lease With Purchase Option)
Ijarah Al Muntahiya bit Tamlik
(financial leasing with purchase option) atau Akad sewa menyewa yang berakhir
dengan kepemilikan adalah sebuah istilah modern yang tidak terdapat dikalangan
fuqaha terdahulu. Definisinya: Istilah ini tersusun dari dua kata, yaitu;
b.
at-tamliik (kepemilikan)
Kita akan mendefinisikan dua kata
tersebut, setelah itu kita akan definisikan akad ini secara keseluruhannya.
Pertama: at-ta'jiir menurut bahasa; diambil dari kata al-ajr,yaitu imbalan atas
sebuah pekerjaan, dan juga dimaksudkan dengan pahala.
Adapun al-ijarah: nama untuk
upah, yaitu suatu yang diberikan berupa upah terhadap pekerjaan. Sedangkan
al-ijarah dalam istilah para ulama ialah suatu akad yang mendatangkan manfaat
yang jelas lagi mubah berupa suatu dzat yang ditentukan ataupun yang
disifati dalam sebuah tanggungan, atau akad terhadap pekerjaan yang jelas
dengan imbalan yang jelas serta tempo waktu yang jelas.
Kita simpulkan bahwa al-ijarah atau
akad sewa terbagi menjadi dua:
1.
sewa barang
2.
sewa pekerjaan
Kedua: at-tamliik secara bahasa
bermakna: menjadikan orang lain memiliki sesuatu.Adapun menurut istilah ia
tidak keluar dari maknanya secara bahasa. Dan at-tamliik bisa berupa
kepemilikan terhadap benda, kepemilikan terhadap manfaat,bisa dengan ganti atau
tidak. Jika kepemilikan terhadap sesuatu terjadi dengan adanya ganti maka ini
adalah jual beli. Jika kepemilikan terhadap suatu manfaat dengan adanya ganti
maka disebut persewaan.
Ketiga definisi Ijarah mumtahiyah bittamlik adalah
akad sewa menyewa antara pemilik objek sewa dan penyewa untuk mendapatkan
imbalan atas objek sewa yang disewakannya dengan opsi perpindahan hak milik
objek sewa pada saat tertentu sesui dengan akad sewa.[3]
Sedangkan Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah (KHES) menjelaskan IMBT pada pasal 323 yaitu Dalam akad ijarah
Muntahiyah bitTamlik suatu benda antara Mua’jir/pihak yang menyewakan dengan
Musta’jir/pihak penyewa diakhiri dengan pembelian ma’jur/objek ijarah oleh
musta’jir/pihak penyewa.[4]
C. Landasan
Syariah
Sebagai
suatu transaksi yang bersifat tolong menolong, ijarah mempunyai landasan yang
kuat dalam Al-Quran dan Hadist. Konsep ini mulai dikembangkan pada masa
Khalifah Umar bin Khattab yaitu ketika adanya sistem bagian tanah dan adanya
langkah revolusioner dari Khalifah Umar yang melarang pemberian tanah bagi kaum
muslimin di wilayah yang ditaklukkan. Langkah alternatif dari larangan ini
adalah membudayakan tanah berdasarkan pembayaran Kharaj dan Jizyah. Landasan ijarah disebut secara terang dalam
Al-Qur’an dan Hadist.Dalam Al-Qur’an Surat Al Baqarah Ayat 233 Allah
menjelaskan bahwa :
وَاِنْ
اَرَتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْااَوْلَدَكُمْ فَلاَجُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَا
سَلَّمْتُمْ مَّا ءَاتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَاتَّقُوْااللهَوَاعْلَمُوْا اَنَّاللهَ
بِمَاتَغْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
“Dan,
jika kamu ingin anakmu disusunkan oleh orang lain, tidak dosa bagimu apabila
kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamukepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah: 233)
Yang
menjadi dalil dari ayat tersebut adalah ungkapan “apabila kamu memberikan
pembayaran yang patut”. Ungkapan tesebut menunjukkan adanya jasa yang diberikan
berkat kewajiban membayar upah (fee) secara patut. Dalam hal ini termasuk didalamnya
jasa penyewaan atau leasing.[5]
Dasar
hukum dari ijarah muntahiya bittamlik adalah sebagaimana hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad Rahimahullahu Ta’ala dari Sahabat Abdullah bin
Mas’ud Radhiyallahu’anhu, dimana rasulullah saw. Bersabda: “Rasulullah melarang dua bentuk akad
sekaligus dalam satu objek”.
Pada prinsipnya terdapt kesepakatan
di kalangan para sahabat bahwa dibolehkan melakukan aqad ijarah dalam kehidupan
bermuamalah. Alasan ini mereka membolehkan aqad ini adalah karena sewa merupakan
jual manfaat yang dibutuhkan, namun ketika kontrak yang dibuat terhadap manfaat
ini tidak dapat diserah terimakan, inilah sebabnya ada ulama yang mengatakan
aqad ini tidak boleh, karena tidak dapat diserah terimakan seperti pada aqad
jual beli.
Dasarkan hukum ijarah muntahiya
bittamlik menurut pendapat ualam masih terdapat perbedaan mengenai
kebolehannya, sebagian yang kontroversi berlakunya transaksi ijarah di kalangan
ulama madzhab yaitu tentang sewa yang diakhiri dengan pemilikan atau hibah bersyarat.
Ulama madzhab Hanafi, Syafi’I, dan Zaidiyah, dan Imamiyah membolehkan aqad
ijarah muntahiya bittamlik ini, sedangkan ulama madzab Hambali, sebagian ulama
madzhab Hanafi, dan madzhab Maliki, tidak membolehkannya.
Perbedaan pendapat ulama tersebut dikarenakan
masing-masing mempunyai perbedaan pemahaman tentang kerelasi aqad ijarah dengan
hibah, tetapi walaupun demikian eksistensi ijarah ini dapat dilakukan boleh,
karena didasarkan pada salah satu pendapat ulama yang mengatakan boleh
hukumnya.
Hibah ini bersifat mengikat terhadap
masa akan datang. Hukumnya boleh menurut ketentuan Fiqh Islam. Demikian pula
dalam jual beli yang bersifat mengikat dengan waktu. Misalnya, “jika anda telah
menyelesaikan cicilan sewa pada masa tertentu, maka saya menjual barang ini
kepada anda”. Praktek ini dibenarkan menurut Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim.
Selain itu menurut para ulama
perpindahan kepemilikan secara otomatis seperti cara-cara diatas tidak perlu
membuat kontrak baru. Hal ini dipertegas dengan fatwa DSN-MUI bahwa pihak yang
melakukan ijarah muntahiya bittamlik harus melaksanakan aqad ijarah terlebih
dahulu. Aqad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli maupun pemberian
(hibah), hanya dapat dilakukan setelah masa ijarah selesai.
Dari penjelasan dan dalil di atas
dapat diketahui bahwa ijarah itu hukumnya boleh dan begitu juga dengan ijarah
muntahiya bittamlik juga boleh, karena tidak ada dalil yang mengharamkannya.
a.
Penyewa (must’jir)
b.
Pemberi sewa (mu’ajjir)
c.
Objek sewa (ma’jur)
d.
Harga sewa (ujrah)
e.
Manfaat sewa (manfa’ah)
f.
Ijab qabul (sighat).
E.
Ketentuan
Objek Ijarah
a.
Objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang
dan/atau jasa.
b.
Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat
dilaksanakan dalam kontrak.
c.
Manfaat
barang atau jasa harus yang bersifak dibolehkan (tidak diharamkan).
d.
Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai
dengan syariah.
e.
Manfaat
harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan
(ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan sengketa.
f.
Spesifikasi
manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa dikenali
dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
g.
Sewa atau
upah adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada LKS sebagai
pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga (tsaman) dalam jual beli
dapat pula dijadikan sewa atau upah dalam Ijarah.
h.
Pembayaran
sewa atau upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan
obyek kontrak.
i.
Kelenturan
(flexibility) dalam menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan dalam ukuran
waktu, tempat dan jarak.
E. Bentuk
Ijarah Muntahia bittamlik
a. Ijarah dengan janji akan menjual pada akhir masa sewa
Pilihan untuk
menjual barang di akhir massa sewa (alternatif 1) biasanya diambil bila
kemampuan finansial penyewa untuk membayar sewa relatif kecil. Karena sewa yang
dibayarkan relatif kecil, akumulasi nilai sewa yang sudah dibayarkan sampai
akhir masa periode sewa belum mencukupi harga beli barang tersebut dan margin
laba yang ditetapkan bank. Karena itu, untuk menutupi kekurangan tersebut, bila
pihak penyewa ingin memiliki barang tersebut, ia harus membeli barang tersebut
di akhir periode.
b. Ijarah dengan janji untuk memberikan hibah pada akhir masa sewa
Pilihan untuk
menghibahkan barang di akhir masa sewa (alternatif 2) biasanya diambil bila
kemampuan finansial penyewa untuk membayar sewa relatif lebih besar. Karena
sewa yang dibayarkan relatif besar, akumulasi sewa di akhir periode sewa sudah
mencukupi untuk menutup harga beli barang dan margin laba yang ditetapkan oleh
bank. Dengan demikian, bank dapat menghibahkan barang tersebut di akhir masa
periode sewa kepada pihak penyewa.[7]
F.
Perbedaan antara Ijarah dan Ijarah Muntahia Bittamlik.
Banyak orang yang menyamakan ijarah
dengan leasing. Hal ini terjadi karena kedua istilah tersebut sama-sama mengacu
pada sewa menyewa. Kita akan membahas perbedaan dan persamaanantara ijarah dan
leasing.
1.
Dari segi objeknya.
·
Bila dilihat dari segi objek yang disewakan, leasing
hanya berlaku untuk sewa menyewa barang saja.
·
Sedangkan dalam ijarah objek yang disewakan bisa
berupa barang dan jasa/tenaga kerja.
2.
Dari segi metode pembayaran.
·
Bila dilihat dari segi metode pembayarannya, leasing
hanya memiliki satu metode pembayaran yaitu, pembayaran sewa pada leasing tidak
bergantung kepada kinerja objek yang disewakan. Contohnya: Ahmad menyewa mobil
X pada Toyota Rent A Car untuk dua hari dengan tarif 1.000.000/hari. Dengan
mobil tersebut Ahmad berencana pergi ke Bandung. Bila ternyata Ahmad tidak
pergi ke Bandung, tetapi hanya ke Bogor Ahmad tetap harus membayar sewa mobil
tersebut seharga 1.000.000/hari. Dengan demikian, penentuan harga sewa pada
kasus diatas tergantung pada lamanyawaktu sewa, bukan apakah mobil tersebut
dapat mengantarkan kita ke Bandung atau tidak.
·
Dari segi metode
ijarah, dapat dibedakan menjadi dua metode pembayaran, yaitu ijarah yang
pembayarannya tergantung kepada kinerja objek yang disewanyadan ijarah yang
pembayarannya tidak tergantung pada kinerja objeknya. Contoh ijarah yang
pembayarannya tergantung pada kinerja objek yang disewakan adalah: Adi ingin ke
Bandung bersama keluarganya. Karena tidak ingin mengemudikan mobilnya
sendiri,ia menghubungi perusahaan travel. Kepada perusahaan travel, Ahmad
mengatakan, “Tolong antarkan saya beserta keluarga ke Bandung dengan mobil
perusahaan Anda. Jika Anda bisa mengantarkan kami ke Bandung anda akan kami
bayar 500.000. Contoh untuk ijarah yang pembayarannya tidak tidak tergantung
pada kinerja objeknya sama seperti contoh Ahmad diatas.
3.
Dari segi perpindahan kepemilikan.
·
Dalam leasing ada dua jenis perpindahan kepemilikan,
yaitu: operating lease dan financial lease. Dalam operating lease, tidak
terjadi perpindahan kepemilikan aset, baik diawal maupun diakhir. Sedangkan
financial lease diakhir periode sewa si penyewa diberikan pilihan untuk membeli
atau tidak membeli barang yang disewa tersebut. Dalam perbankan syari’ah
dikenal dengan ijarah muntahia bittamlik (sewa yang diikuti dengan
berpindahannya kepemilikan). Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal
perjanjian.Karena itu dalam ijarah muntahia bittamlik, pihak yang menyewakan
berjanji diawal periode kepada pihak penyewa, apakah akan menjual barang
tersebut atau akan menghibahkannya. Dengan demikian, ada dua jenis ijarah
muntahia bittamlik:
a.
Ijarah muntahia bittamlik dengan janji menghibahkan
barang diakhir periode sewa.
b.
Ijarah muntahia bittamlik dengan janji menjual barang
pada akhir periode sewa.[8]
Skema Proses Transasksi
Pembiayaan Ijarah Muntahiyah Bittamlik
Keterangan:
1. Bank
syariah dan nasabah melakukan perjanjian dengan akad ijarah muntahiya bittamlik. Dalam akad dijelaskan tentang objek
sewa, jangka waktu sewa, dan imbalan yang diberikan oleh lessee kepada lessor, hak
opsi lessee setelah akad sewa
berakhir dan ketentuan lainnya.
2. Bank
syariah membeli objek sewa dari supplier.
Aset yang dibeli oleh bank syariah sesuai dengan kebutuhan lessee.
3. Setelah
supplier menyiapkan objek sewa,
kemudian supplier mengirimkan dokumen
barang yang dibeli ke bank syariah, kemudian bank syariah membayar kepada supplier.
4.
Supplier
mengirimkan objek sewa kepada nasabah atas perintah dari bank syariah.
Barang-barang yang dikirim tidak disertai dengan dokumen, karena dokumen barang
diserahkan kepada bank syariah.
5.
Setelah menerima objek sewa, maka
nasabah mulai melaksanakan pembayaran atas imbalan yang disepakati dalam akad.
Imbalan yang diterima oleh bank syariah disebut pendapatan sewa. Biaya sewa
dibayar oleh nasabah kepada bank syariah pada umumnya setiap bulan. Bila jangka
waktu berakhir, dan nasabah memilih opsi untuk membeli objek sewa, maka nasabah
akan membayar sisanya (bila ada) dan bank syariah akan menyerahkan dokumen
kepemilikan objek sewa.
G. Kewajiban pemberi dan
penerimamanfaat barang
atau jasa
a. Kewajiban pemberi manfaat barang atau
jasa:
- Menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan
- Menanggung
biaya pemeliharaan barang.
- Menjamin bila terdapat cacat pada barang yang
disewakan.
b. Kewajiban penerima manfaat barang atau
jasa:
- Membayar sewa atau upah dan bertanggung jawab untuk
menjaga keutuhan barang serta menggunakannya sesuai akad (kontrak).
- Menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya
ringan (tidak materiil).
- Jika barang yang disewa rusak, bukan karena
pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian
pihak penerima manfaat dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas
kerusakan tersebut.[9]
H.
Syarat
Ujrah (fee, bayaran sewa)
1. Harus termasuk dari harta yang halal
2. Harus
diketahui jenis, macam dan satuannya
3. Tidak boleh dari jenis yang sama dengan manfaat yang akan
disewa untuk menghindari kemiripan riba fadhl
4. Kebanyakan ulama membolehkan fee ijarah bukan dengan uang
tetapi dalam bantuk jasa (manfaat lain). Misalnya membayar sewa mobil 1 minggu
dengan mengajar anaknya matematika selama 1 bulan 8 Kali pertemuan.
Pada prinsipnya dalam kontrak ijarah harus dikatakan dengan jelas siapa
yang menanggung biaya pemelihraan asset obyek sewa. Sebagian ulama
menyatakan jika kontrak sewa menyebutkan
biaya perbaikan ditanggung penyewa, maka kontrak sewa itu tidak sah, karena
penyewa menangung biaya yang tidak jelas.
I. Pembatalan
dan Berakhirnya Ijarah
Ijarah adalah jenis akad tidak
membolehkan adanya fasakh pada salah satu pihak, karena ijarah merupakan akad
pertukaran, kecuali bila didapati adanya hal-hal yang mewajibkan fasakh.
Ijarah akan
menjadi fasakh (batal) bila terdapat hal-hal sebagai berikut:
·
Terdapat
cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa.
·
Barang yang disewakan hancur atau
rusak.
·
Rusaknya
barang yang diupahkan, seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan.
·
Akad
ijarah dihentikan pada saat aset yang
bersangkutan berhenti memberikan manfaat kepada penyewa.
·
Terpenuhinya
manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan dan telah
selesai pekerjaan.
·
Salah satu pihak meninggal dunia
(Hanafi); jika barang yang disewakan itu berupa hewan maka kematiannya
mengakhiri akad ijaroh (Jumhur).
·
Kedua pihak membatalkan akad dengan
iqolah.
J. Pengembalian Sewaan
Jika ijarah telah berakhir, penyewa
berkewajiban mengembalikan barang sewaan, jika barang tersebut dapat dipindahkan,
ia wajib menyerahkan kepada pemiliknya, dan jika bentuk barang sewaan adalah
benda tetap, ia wajib menyerahkan kembali dalam keadaan kosong, jika barang
sewaan itu berupa tanah, ia wajib menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan
kosong dari tanaman, kecuali bila ada kesulitan untuk menghilangkannya.
Mazhab Hanbali berpendapat bahwa ketika
ijarah telah berakhir, penyewa harus melepaskan barang sewaan dan tidak ada
keharusan mengembalikan untuk menyerahterimakan seperti barang titipan.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Ijarah
Muntahia Bittamlik adalah transaksi ijarah yang diikuti dengan proses
perpindahan hak kepemilikan atas barang itu sendiri. Transaksi IMBT merupakan
pengembangan transaksi ijarah untuk mengakomodasi kebutuhan pasar. Karena
merupakan pengembangan dari transaksi ijarah, maka ketentuannya mengikuti
ketentuan ijarah.
Proses perpindahan kepemilikan barang dalam transaksi ijarah muntahia bittamlik
dapat dilakukan dengan cara: hibah dan promise to sell (janji jual). Yang mana
ijarah muntahia bittamlik ini memiliki rukun, yaitu: penyewa (musta’jir),
pemberi sewa (mu’ajjir), objek sewa (ma’jur), harga sewa (ujrah), manfaat sewa
(manfa’ah), dan yang terakhir ijab qabul (sighat).
B. SARAN
DAFTAR
PUSTAKA
Prof.
Dr. H. Veithzal Rivai, S.E., M.M., MBA, Arifiandy Permata Veithzal, S.H.,
L.LM., Marissa Greace Haque Fawzi, S.H., M.Hum, ISLAMIC TRANSACTION LAW IN
BUSINESS dari Teori ke Praktik, Jakarta:Bumi Aksara, 2001.
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,
2008.
Dr.
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh
Muamalah, Ed.1. Cet. 1, jakarta: Kencana, 2012
Ramli,
Hasbi. Toeri Dasar Akutansi Syariah, Jakarta:Renaisan 2005.
Anonimus, Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah ( KHES ), Fokus Media: Bandung, 2010.
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah,
Terjemah Nor Hasanuddin (Jakarta: Pena Pundi Aksara. 2004)
Rahmat Syafi’I, Fiqh Muamalah (Bandung: CV Pustaka Setia.
2004)
[1] Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah,
terjemah Nor Hasanuddin (Jakarta :
Pena Pundi Aksara. 2004) h. 203
[2] Rahmat Syafi’I, Fiqh Muamalah (Bandung : CV Pustaka Setia. 2004) h. 121
[3] Hasbi Ramli. Toeri Dasar Akutansi Syariah. (Jakarta:Renaisan
2005), hal,63
[4] Anonimus,
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ( KHES ), (Fokus Media: Bandung, 2010)
[5] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank
Syariah: Dari Teori ke Praktek, Cet.1, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm.
117-118
[6] Sunarto Zulkifli, perbankan
syari’ah, (zikrul Hakim: jakarta, 2007). Hal: 46
[7] Ibid , hlm 49
[8] Ramli, Hasbi. Toeri Dasar Akutansi Syariah, (Jakarta:Renaisan
2005.) hlm 56
[9] Ibid , hlm 75