Senin, 13 Juni 2016

zamrud katulistiwa: IJARAH DAN IJARAH MUNTAHIA BITTAMLIK

IJARAH DAN IJARAH MUNTAHIA BITTAMLIK

MAKALAH
Disusun oleh:
1.      Putri rahma
2.      Eksi Octaviani
3.      Tri Widodo


Dosen pembimbing
Khairiah Elwardah

PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BENGKULU
2016


Kata Pengantar
Assalamualaikum Wr. Wb.
Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan YME, karena atas berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Tugas Kelompok untuk memenuhi mata kuliah fiqh mu’amalah II
Dalam penulisan makalah ini penulis membahas tentang “Ijarah Dan Ijarah Muntahiya Bittamlik” sesuai dengan tujuan instruksional khusus mata kuliah fiqh mu’amalah, Program Studi Perbankan Syariah , Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Islam.  IAIN Bengkulu
Dengan menyelesaikan makalah ini, tidak jarang penulis menemui kesulitan. Namun penulis sudah berusaha sebaik mungkin untuk menyelesaikannya, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang membaca yang sifatnya membangun untuk dijadikan bahan masukan guna penulisan yang akan datang sehingga menjadi lebih baik lagi. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb

bengkulu,            2014

`                                               Penulis




DAFTAR ISI
Kata Pengantar.................................................................................................. i
Daftar isi.............................................................................................................. ii
A.    BAB I PENDAHULUAN
a)      Latar Belakang................................................................................... 1
b)      Rumusan Masalah.............................................................................. 2
B.     BAB II PEMBAHASAN
a)      Pengertian Ijarah Dan Ijarah Muntahia Bittamlik.............................. 5
b)      Landasan Syariah............................................................................... 6
c)      Rukun Dan Syarat Ijarah ................................................................... 8
d)     Ketentuan Objek Ijarah...................................................................... 8
e)      Bentuk Ijarah Muntahia Bittamlik..................................................... 9
f)       Perbedaan Antara Ijarah Dan Ijarah Muntahia Bittamlik.................. 9
g)      Kewajiban Pemberi Dan Penerimamanfaat Barang Atau Jasa........... 12
h)      Syarat Ujrah (Fee, Bayaran Sewa)..................................................... 13
i)        Pembatalan Dan Berakhirnya Ijarah................................................... 13
j)       Pengembalian Sewaan........................................................................ 14
C.    BAB III PENUTUP
a)      Kesimpulan......................................................................................... 15
b)      Saran................................................................................................... 15
 Daftar Pustaka................................................................................................... 16








BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Muamalah merupakan bagian dari rukun islam yang mengatur hubungan antara seseorang dan orang lain. Contoh hukum islam yang termasuk muamalah salah satunya adalah ijarah (sewa-menyewa dan upah).Seiring dengan perkembangan zaman, transaksi muamalah tidak terdapat miniatur dari ulama klasik, transaksi tersebut merupakan terobosan baru dalam dunia modern.Dalam hal ini kita harus cermat, apakah transaksi modern ini memiliki pertentangan tidak dengan kaidah fiqih? Jika tidak, maka transaksi dapat dikatakan mubah.Sebelum dijelaskan mengenai ijarah, terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai makna operasional ijarah itu sendiri. Idris Ahmad dalam bukunya yang berjudul Fiqh Syafi’I, berpendapat bahwa ijarah berarti upah-mengupah, hal ini terlihat ketika beliau menerangkan rukun dan syarat upah-mengupah, mu’jir danmusta’jir, sedangkan Kamaluddin A. Marzuki sebagai penerjemah Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq menjelaskan makna ijarah dengan sewa-menyewa.
Dari dua buku tersebut ada perbedaan terjemahan kata ijarah dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia, antara sewa dan upah juga ada perbedaan makna operasional, sewa biasanya digunakan untuk benda, sedangkan upah digunkan untuk tenaga. Namun dalam bahasa Arab ijarah adalah sewa dan upah. Sehingga ketika kita melihat bagaimana aplikasi dari ijarah itu sendiri dilapangan, maka kita bisa mendapati sebagai mana yang akan dibasas dalam makalah ini. Yangmana diharapkan dengan hadirnya makalah ini dapat memberikan masukan ilmu pengetahuan kepad kaum muslimin mengenai hal-hal yang berkaitan dengan sewa-menyewa. Ijarah merupakan menjual manfaat yang dilakukan oleh seseorang dengan orang lain dengan menggunakan ketentuan syari’at islam. Kegiatan ijarah ini tidak dapat dilepaskan dari kehidupan kita sehari-hari baik dilingkungan keluarga maupun masyarakat sekitar kita. Oleh sebab itu kita harus mengetahui apa pengertian dari ijarah yang sebenarnya, rukun dan syarat ijarah, dasar hukum ijarah, manfaat ijarah dan lain sebagainya mengenai ijarah. Karena begitu pentingnya masalah tersebut maka permasalahan ini akan dijelaskan dalam pembahasan makalah ini.
B.     Rumusan masalah
1.      Apa yang dimaksud ijarah dan ijarah Muntahia Bittamlik ?
2.      Apa landasan syariah tentang ijarah?
3.      Apa saja rukun dan syarat serta ketentuan objek ijarah?
4.      Apa saja bentuk ijarah muntahia bittamlik?
5.      Apa perbedaaan ijarah dan ijarah muntahia bittamlik?
6.      Kapan ijarah bisa berakhir atau di batalkan?














BAB II
PEMBAHASAN
IJARAH DAN IJARAH MUNTAHIA BITTAMLIK
A.    Pengertian Ijarah
Kata Al-ijarah sendiri berasal dari kata Al ajru yang diartikan sebagai Al 'Iwadhu yang mempunyai arti ”ganti”, al-kira`, yang mempunyai arti ”bersamaan” dan  al-ujrah yang memiliki arti ”upah”
Al Ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat suatu barang dengan jalan penggantian. Beberapa contoh kontrak ijarah (pemilikan manfaat) seperti (a) Manfaat yang berasal dari aset seperti rumah untuk ditempati, atau mobil untuk dikendarai, (b) Manfaat yang berasal karya seperti hasil karya seorang insinyur bangun­an, tukang tenun, tukang pewarna, penjahit, dll (c) Manfaat yang berasal dari skill/keahlian individu seperti pekerja kantor, pembantu rumah tangga, dll. Sementara itu, menyewakan pohon untuk dimanfaatkan buahnya, menyewakan makanan untuk dimakan, dll bukan termasuk kategori ijarah karena barang-barang tersebut tidak dapat dimanfaatkan kecuali barang-barang tersebut akan habis dikonsumsi. 
Adapun landasan hukum ijarah dari Al-Qur’an dapat ditemukan antara lain pada Surah Az-Zuhruf ayat 32, Surah Al-Baqarah ayat 233, dan Surah Al-Qashash ayat 26 dan 27. Sedangkan landasan hukum yang berasal dari Hadits Nabi SAW antara lain Hadits Al-Bukhari yang meriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah menyewa seseorang dari Bani Ad-Diil bernama Abdullah bin Al Uraiqith sebagai petunjuk jalan yang professional.
Menurut Sayyid Sabiq, Ijarah adalah suatu jenis akad yang mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Dengan demikian pada hakikatnya ijarah adalah penjualan manfaat yaitu pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dan jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan tetapi hanya perpindahan hak guna saja dari yang menyewakan kepada penyewa.[1]
Pengertian al-ijarah menurut istilah syariat Islam terdapat beberapa pendapat Imam Mazhab Fiqh Islam sebagai berikut:
1.      Para ulama dari golongan Hanafiyah berpendapat, bahwa al-ijarah adalah suatu transaksi yang memberi faedah pemilikan suatu manfaat yang dapat diketahui kadarnya untuk suatu maksud tertentu dari barang yang disewakan dengan adanya imbalan.
2.      Ulama Mazhab Malikiyah mengatakan, selain al-ijarah dalam masalah ini ada yang diistilahkan dengan kata al-kira`, yang mempunyai arti bersamaan, akan tetapi untuk istilah al-ijarah mereka berpendapat adalah suatu `aqad atau perjanjian terhadap manfaat dari al-Adamy (manusia) dan benda-benda bergerak lainnya, selain kapal laut dan binatang, sedangkan untuk al-kira` menurut istilah mereka, digunakan untuk `aqad sewa-menyewa pada benda-benda tetap, namun demikian dalam hal tertentu, penggunaan istilah tersebut kadang-kadang juga digunakan.
3.      Ulama Syafi`iyah berpendapat, al-ijarah adalah suatu aqad atas suatu manfaat yang dibolehkan oleh Syara` dan merupakan tujuan dari transaksi tersebut, dapat diberikan dan dibolehkan menurut Syara` disertai sejumlah imbalan yang diketahui.
4.      Hanabilah berpendapat, al-ijarah adalah `aqad atas suatu manfaat yang dibolehkan menurut Syara` dan diketahui besarnya manfaat tersebut yang diambilkan sedikit demi sedikit dalam waktu tertentu dengan adanya `iwadah.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa dalam hal `aqad ijarah dimaksud terdapat tiga unsur pokok, yaitu pertama, unsur pihak-pihak yang membuat transaksi, yaitu majikan dan pekerja. Kedua, unsur perjanjian yaitu ijab dan qabul, dan yang ketiga, unsur materi yang diperjanjikan, berupa kerja dan ujrah atau upah.[2]

B.     Ijarah Muntahia Bittamlik (Financial Lease With Purchase Option)
Ijarah Al Muntahiya bit Tamlik (financial leasing with purchase option) atau Akad sewa menyewa yang berakhir dengan kepemilikan adalah sebuah istilah modern yang tidak terdapat dikalangan fuqaha terdahulu. Definisinya: Istilah ini tersusun dari dua kata, yaitu;
a.       at-ta'jiir / al-ijarah (sewa)
b.      at-tamliik (kepemilikan)
Kita akan mendefinisikan dua kata tersebut, setelah itu kita akan definisikan akad ini secara keseluruhannya. Pertama: at-ta'jiir menurut bahasa; diambil dari kata al-ajr,yaitu imbalan atas sebuah pekerjaan, dan juga dimaksudkan dengan pahala.
Adapun  al-ijarah: nama untuk upah, yaitu suatu yang diberikan berupa upah terhadap pekerjaan. Sedangkan al-ijarah dalam istilah para ulama ialah suatu akad yang mendatangkan manfaat yang jelas lagi mubah berupa suatu dzat  yang ditentukan ataupun yang disifati dalam sebuah tanggungan, atau akad terhadap  pekerjaan yang jelas dengan imbalan yang jelas serta tempo waktu yang jelas.
Kita simpulkan bahwa al-ijarah atau akad sewa terbagi menjadi dua:
1.      sewa barang   
2.      sewa pekerjaan    
Kedua: at-tamliik secara bahasa bermakna: menjadikan orang lain memiliki sesuatu.Adapun menurut istilah ia tidak keluar dari maknanya secara bahasa. Dan  at-tamliik bisa berupa kepemilikan terhadap benda, kepemilikan terhadap manfaat,bisa dengan ganti atau tidak. Jika kepemilikan terhadap sesuatu terjadi dengan adanya ganti maka ini adalah jual beli. Jika kepemilikan terhadap suatu manfaat dengan adanya ganti maka disebut persewaan.
    Ketiga definisi Ijarah mumtahiyah bittamlik adalah akad sewa menyewa antara pemilik objek sewa dan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakannya dengan opsi perpindahan hak milik objek sewa pada saat tertentu sesui dengan akad sewa.[3]
Sedangkan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) menjelaskan IMBT pada pasal 323 yaitu Dalam akad ijarah Muntahiyah bitTamlik suatu benda antara Mua’jir/pihak yang menyewakan dengan Musta’jir/pihak penyewa diakhiri dengan pembelian ma’jur/objek ijarah oleh musta’jir/pihak penyewa.[4]

C.    Landasan Syariah
            Sebagai suatu transaksi yang bersifat tolong menolong, ijarah mempunyai landasan yang kuat dalam Al-Quran dan Hadist. Konsep ini mulai dikembangkan pada masa Khalifah Umar bin Khattab yaitu ketika adanya sistem bagian tanah dan adanya langkah revolusioner dari Khalifah Umar yang melarang pemberian tanah bagi kaum muslimin di wilayah yang ditaklukkan. Langkah alternatif dari larangan ini adalah membudayakan tanah berdasarkan pembayaran Kharaj dan Jizyah. Landasan ijarah disebut secara terang dalam Al-Qur’an dan Hadist.Dalam Al-Qur’an Surat Al Baqarah Ayat 233 Allah menjelaskan bahwa :

وَاِنْ اَرَتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْااَوْلَدَكُمْ فَلاَجُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَا سَلَّمْتُمْ مَّا ءَاتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَاتَّقُوْااللهَوَاعْلَمُوْا اَنَّاللهَ بِمَاتَغْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

“Dan, jika kamu ingin anakmu disusunkan oleh orang lain, tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamukepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah: 233)
Yang menjadi dalil dari ayat tersebut adalah ungkapan “apabila kamu memberikan pembayaran yang patut”. Ungkapan tesebut menunjukkan adanya jasa yang diberikan berkat kewajiban membayar upah (fee) secara patut. Dalam hal ini termasuk didalamnya jasa penyewaan atau leasing.[5]
Dasar hukum dari ijarah muntahiya bittamlik adalah sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad Rahimahullahu Ta’ala dari Sahabat Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu’anhu, dimana rasulullah saw. Bersabda:  “Rasulullah melarang dua bentuk akad sekaligus dalam satu objek”.
Pada prinsipnya terdapt kesepakatan di kalangan para sahabat bahwa dibolehkan melakukan aqad ijarah dalam kehidupan bermuamalah. Alasan ini mereka membolehkan aqad ini adalah karena sewa merupakan jual manfaat yang dibutuhkan, namun ketika kontrak yang dibuat terhadap manfaat ini tidak dapat diserah terimakan, inilah sebabnya ada ulama yang mengatakan aqad ini tidak boleh, karena tidak dapat diserah terimakan seperti pada aqad jual beli. 
Dasarkan hukum ijarah muntahiya bittamlik menurut pendapat ualam masih terdapat perbedaan mengenai kebolehannya, sebagian yang kontroversi berlakunya transaksi ijarah di kalangan ulama madzhab yaitu tentang sewa yang diakhiri dengan pemilikan atau hibah bersyarat. Ulama madzhab Hanafi, Syafi’I, dan Zaidiyah, dan Imamiyah membolehkan aqad ijarah muntahiya bittamlik ini, sedangkan ulama madzab Hambali, sebagian ulama madzhab Hanafi, dan madzhab Maliki, tidak membolehkannya. 
Perbedaan pendapat ulama tersebut dikarenakan masing-masing mempunyai perbedaan pemahaman tentang kerelasi aqad ijarah dengan hibah, tetapi walaupun demikian eksistensi ijarah ini dapat dilakukan boleh, karena didasarkan pada salah satu pendapat ulama yang mengatakan boleh hukumnya.
Hibah ini bersifat mengikat terhadap masa akan datang. Hukumnya boleh menurut ketentuan Fiqh Islam. Demikian pula dalam jual beli yang bersifat mengikat dengan waktu. Misalnya, “jika anda telah menyelesaikan cicilan sewa pada masa tertentu, maka saya menjual barang ini kepada anda”. Praktek ini dibenarkan menurut Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim.
Selain itu menurut para ulama perpindahan kepemilikan secara otomatis seperti cara-cara diatas tidak perlu membuat kontrak baru. Hal ini dipertegas dengan fatwa DSN-MUI bahwa pihak yang melakukan ijarah muntahiya bittamlik harus melaksanakan aqad ijarah terlebih dahulu. Aqad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli maupun pemberian (hibah), hanya dapat dilakukan setelah masa ijarah selesai. 
Dari penjelasan dan dalil di atas dapat diketahui bahwa ijarah itu hukumnya boleh dan begitu juga dengan ijarah muntahiya bittamlik juga boleh, karena tidak ada dalil yang mengharamkannya.
D.    Rukun dan Syarat Ijarah[6]
a.       Penyewa (must’jir)
b.      Pemberi sewa (mu’ajjir)
c.       Objek sewa (ma’jur)
d.      Harga sewa (ujrah)
e.       Manfaat sewa (manfa’ah)
f.       Ijab qabul (sighat).
E.     Ketentuan Objek Ijarah
a.       Objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa.
b.      Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
c.        Manfaat barang atau jasa harus yang bersifak dibolehkan (tidak diharamkan).
d.      Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syariah.
e.        Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan (ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan sengketa.
f.        Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
g.       Sewa atau upah adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada LKS sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga (tsaman) dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa atau upah dalam Ijarah.
h.       Pembayaran sewa atau upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak.
i.         Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.
E.     Bentuk Ijarah Muntahia bittamlik
a.      Ijarah dengan janji akan menjual pada akhir masa sewa
Pilihan untuk menjual barang di akhir massa sewa (alternatif 1) biasanya diambil bila kemampuan finansial penyewa untuk membayar sewa relatif kecil. Karena sewa yang dibayarkan relatif kecil, akumulasi nilai sewa yang sudah dibayarkan sampai akhir masa periode sewa belum mencukupi harga beli barang tersebut dan margin laba yang ditetapkan bank. Karena itu, untuk menutupi kekurangan tersebut, bila pihak penyewa ingin memiliki barang tersebut, ia harus membeli barang tersebut di akhir periode.
b.      Ijarah dengan janji untuk memberikan hibah pada akhir masa sewa
Pilihan untuk menghibahkan barang di akhir masa sewa (alternatif 2) biasanya diambil bila kemampuan finansial penyewa untuk membayar sewa relatif lebih besar. Karena sewa yang dibayarkan relatif besar, akumulasi sewa di akhir periode sewa sudah mencukupi untuk menutup harga beli barang dan margin laba yang ditetapkan oleh bank. Dengan demikian, bank dapat menghibahkan barang tersebut di akhir masa periode sewa kepada pihak penyewa.[7]
F.     Perbedaan antara Ijarah dan Ijarah Muntahia Bittamlik.
Banyak orang yang menyamakan ijarah dengan leasing. Hal ini terjadi karena kedua istilah tersebut sama-sama mengacu pada sewa menyewa. Kita akan membahas perbedaan dan persamaanantara ijarah dan leasing.
1.      Dari segi objeknya.
·         Bila dilihat dari segi objek yang disewakan, leasing hanya berlaku untuk sewa menyewa barang saja.
·         Sedangkan dalam ijarah objek yang disewakan bisa berupa barang dan jasa/tenaga kerja.
2.      Dari segi metode pembayaran.
·         Bila dilihat dari segi metode pembayarannya, leasing hanya memiliki satu metode pembayaran yaitu, pembayaran sewa pada leasing tidak bergantung kepada kinerja objek yang disewakan. Contohnya: Ahmad menyewa mobil X pada Toyota Rent A Car untuk dua hari dengan tarif 1.000.000/hari. Dengan mobil tersebut Ahmad berencana pergi ke Bandung. Bila ternyata Ahmad tidak pergi ke Bandung, tetapi hanya ke Bogor Ahmad tetap harus membayar sewa mobil tersebut seharga 1.000.000/hari. Dengan demikian, penentuan harga sewa pada kasus diatas tergantung pada lamanyawaktu sewa, bukan apakah mobil tersebut dapat mengantarkan kita ke Bandung atau tidak.
·         Dari segi metode  ijarah, dapat dibedakan menjadi dua metode pembayaran, yaitu ijarah yang pembayarannya tergantung kepada kinerja objek yang disewanyadan ijarah yang pembayarannya tidak tergantung pada kinerja objeknya. Contoh ijarah yang pembayarannya tergantung pada kinerja objek yang disewakan adalah: Adi ingin ke Bandung bersama keluarganya. Karena tidak ingin mengemudikan mobilnya sendiri,ia menghubungi perusahaan travel. Kepada perusahaan travel, Ahmad mengatakan, “Tolong antarkan saya beserta keluarga ke Bandung dengan mobil perusahaan Anda. Jika Anda bisa mengantarkan kami ke Bandung anda akan kami bayar 500.000. Contoh untuk ijarah yang pembayarannya tidak tidak tergantung pada kinerja objeknya sama seperti contoh Ahmad diatas.
3.      Dari segi perpindahan kepemilikan.
·         Dalam leasing ada dua jenis perpindahan kepemilikan, yaitu: operating lease dan financial lease. Dalam operating lease, tidak terjadi perpindahan kepemilikan aset, baik diawal maupun diakhir. Sedangkan financial lease diakhir periode sewa si penyewa diberikan pilihan untuk membeli atau tidak membeli barang yang disewa tersebut. Dalam perbankan syari’ah dikenal dengan ijarah muntahia bittamlik (sewa yang diikuti dengan berpindahannya kepemilikan). Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian.Karena itu dalam ijarah muntahia bittamlik, pihak yang menyewakan berjanji diawal periode kepada pihak penyewa, apakah akan menjual barang tersebut atau akan menghibahkannya. Dengan demikian, ada dua jenis ijarah muntahia bittamlik:
a.       Ijarah muntahia bittamlik dengan janji menghibahkan barang diakhir periode sewa.
b.      Ijarah muntahia bittamlik dengan janji menjual barang pada akhir periode sewa.[8]

Skema Proses Transasksi Pembiayaan Ijarah Muntahiyah Bittamlik




Keterangan:
1.      Bank syariah dan nasabah melakukan perjanjian dengan akad ijarah muntahiya bittamlik. Dalam akad dijelaskan tentang objek sewa, jangka waktu sewa, dan imbalan yang diberikan oleh lessee kepada lessor, hak opsi lessee setelah akad sewa berakhir dan ketentuan lainnya.
2.      Bank syariah membeli objek sewa dari supplier. Aset yang dibeli oleh bank syariah sesuai dengan kebutuhan lessee.
3.      Setelah supplier menyiapkan objek sewa, kemudian supplier mengirimkan dokumen barang yang dibeli ke bank syariah, kemudian bank syariah membayar kepada supplier.
4.      Supplier mengirimkan objek sewa kepada nasabah atas perintah dari bank syariah. Barang-barang yang dikirim tidak disertai dengan dokumen, karena dokumen barang diserahkan kepada bank syariah.
5.      Setelah menerima objek sewa, maka nasabah mulai melaksanakan pembayaran atas imbalan yang disepakati dalam akad. Imbalan yang diterima oleh bank syariah disebut pendapatan sewa. Biaya sewa dibayar oleh nasabah kepada bank syariah pada umumnya setiap bulan. Bila jangka waktu berakhir, dan nasabah memilih opsi untuk membeli objek sewa, maka nasabah akan membayar sisanya (bila ada) dan bank syariah akan menyerahkan dokumen kepemilikan objek sewa.

G.    Kewajiban pemberi dan penerimamanfaat barang atau jasa
a.      Kewajiban pemberi manfaat barang atau jasa:
  1. Menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan
  2. Menanggung biaya pemeliharaan barang.
  3. Menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan.
b.      Kewajiban penerima manfaat barang atau jasa:
  1. Membayar sewa atau upah dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan barang serta menggunakannya sesuai akad (kontrak).
  2. Menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak materiil).
  3. Jika barang yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penerima manfaat dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.[9]


H.    Syarat Ujrah (fee, bayaran sewa)
1.      Harus termasuk dari harta yang halal
2.      Harus diketahui jenis, macam dan satuannya
3.      Tidak boleh dari jenis yang sama dengan manfaat yang akan disewa untuk menghindari kemiripan riba fadhl
4.      Kebanyakan ulama membolehkan fee ijarah bukan dengan uang tetapi dalam bantuk jasa (manfaat lain). Misalnya membayar sewa mobil 1 minggu dengan mengajar anaknya matematika selama 1 bulan 8 Kali pertemuan.
Pada prinsipnya dalam kontrak ijarah harus dikatakan dengan jelas siapa yang menanggung biaya pemelihraan asset obyek sewa. Sebagian ulama menyatakan  jika kontrak sewa menyebutkan biaya perbaikan ditanggung penyewa, maka kontrak sewa itu tidak sah, karena penyewa menangung biaya yang tidak jelas.
I.       Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah
Ijarah adalah jenis akad  tidak membolehkan adanya fasakh pada salah satu pihak, karena ijarah merupakan akad pertukaran, kecuali bila didapati adanya hal-hal yang mewajibkan fasakh.
Ijarah akan menjadi fasakh (batal) bila terdapat hal-hal sebagai berikut:
·        Terdapat cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa.
·        Barang yang disewakan hancur atau rusak.
·        Rusaknya barang yang diupahkan, seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan.
·        Akad ijarah dihentikan pada saat aset yang bersangkutan berhenti memberikan manfaat kepada penyewa.
·        Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan dan telah selesai pekerjaan.
·        Salah satu pihak meninggal dunia (Hanafi); jika barang yang disewakan itu berupa hewan maka kematiannya mengakhiri akad ijaroh (Jumhur).
·        Kedua pihak membatalkan akad dengan iqolah.
J.      Pengembalian Sewaan
Jika ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang sewaan, jika barang tersebut dapat dipindahkan, ia wajib menyerahkan kepada pemiliknya, dan jika bentuk barang sewaan adalah benda tetap, ia wajib menyerahkan kembali dalam keadaan kosong, jika barang sewaan itu berupa tanah, ia wajib menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan kosong dari tanaman, kecuali bila ada kesulitan untuk menghilangkannya.
Mazhab Hanbali berpendapat bahwa ketika ijarah telah berakhir, penyewa harus melepaskan barang sewaan dan tidak ada keharusan mengembalikan untuk menyerahterimakan seperti barang titipan.
















BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
          Ijarah Muntahia Bittamlik adalah transaksi ijarah yang diikuti dengan proses perpindahan hak kepemilikan atas barang itu sendiri. Transaksi IMBT merupakan pengembangan transaksi ijarah untuk mengakomodasi kebutuhan pasar. Karena merupakan pengembangan dari transaksi ijarah, maka ketentuannya mengikuti ketentuan ijarah.
             Proses perpindahan kepemilikan barang dalam transaksi ijarah muntahia bittamlik dapat dilakukan dengan cara: hibah dan promise to sell (janji jual). Yang mana ijarah muntahia bittamlik ini memiliki rukun, yaitu: penyewa (musta’jir), pemberi sewa (mu’ajjir), objek sewa (ma’jur), harga sewa (ujrah), manfaat sewa (manfa’ah), dan yang terakhir ijab qabul (sighat).
B.     SARAN














DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H. Veithzal Rivai, S.E., M.M., MBA, Arifiandy Permata Veithzal, S.H., L.LM., Marissa Greace Haque Fawzi, S.H., M.Hum, ISLAMIC TRANSACTION LAW IN BUSINESS dari Teori ke Praktik, Jakarta:Bumi Aksara, 2001.
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2008.
Dr. Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, Ed.1. Cet. 1, jakarta: Kencana, 2012

Ramli, Hasbi. Toeri Dasar Akutansi Syariah, Jakarta:Renaisan 2005.
                                                                                                     
Anonimus, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ( KHES ), Fokus Media: Bandung, 2010.
            Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Terjemah Nor Hasanuddin (Jakarta: Pena Pundi Aksara. 2004)
            Rahmat Syafi’I,  Fiqh Muamalah (Bandung: CV Pustaka Setia. 2004)



[1]               Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, terjemah Nor Hasanuddin (Jakarta: Pena Pundi Aksara. 2004) h. 203
[2]               Rahmat Syafi’I,  Fiqh Muamalah (Bandung: CV Pustaka Setia. 2004) h. 121
[3]               Hasbi Ramli. Toeri Dasar Akutansi Syariah. (Jakarta:Renaisan 2005), hal,63
[4]               Anonimus, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ( KHES ), (Fokus Media: Bandung, 2010)
[5]               Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, Cet.1, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 117-118
[6]              Sunarto Zulkifli, perbankan syari’ah, (zikrul Hakim: jakarta, 2007). Hal: 46

[7]               Ibid , hlm 49
[8]               Ramli, Hasbi. Toeri Dasar Akutansi Syariah, (Jakarta:Renaisan 2005.) hlm 56
[9]               Ibid , hlm 75